Kamis, 07 Mei 2009

Tidak, Jibril Tidak Pensiun


Kawan-kawan sekalian yang saya hormati, 
Secara kuantitas spiritual, jika kita timbang mungkin bobot yang kita miliki teramat ringan. Secara kualitas keimanan, jika kita nilai, maka iman kita ini tidak ada apa-apanya. Namun semoga dengan perasaan tak berbobot, dan tak bernilai itu, kita menyediakan ruang kosong untuk dapat dimasuki cahaya hidayah Alloh sehingga kita bisa berjalan penuh dengan hidayah dan hikmah. Kita semua berharap taburan cahaya rahmat yang dijanjikan oleh Alloh pada sepuluh hari pertama bulan romadhon ini sudi untuk mengepung pekat hitam hati kita. Sehingga dengan perlahan, bintik-bintik hitam dihati kita terhapus tertembus oleh cahaya rahmatNya. Dan semoga Sholawat salam senantiasa mengalir pada junjungan kita rasulillah Muhammad Saw. Amin.
***
Ok. Kali ini kita bincangkan sedikit dari apa yang telah saya baca dari buku ”Tidak. Jibril tidak pensiun” yang ditulis oleh Emha Ainun Najib. Dan mungkin pemahaman yang saya dapatkan dari membaca buku ini hanya permukaan saja. Ibaratnya memandang laut, yang saya lihat adalah ombaknya saja. Tanpa mampu untuk menembus kedalaman untuk melihat mutiaranya. Maka dengan hormat, saya mohon kesediaan kawan-kawan di sini untuk memperdalam dan memperluas kajian ilmu kita kali ini. 

Buku ini adalah kumpulan kolom atau esai cak nun, yang kemunculannya sangat beragam. Ada yang terpublikasikan pada tahun 1980-an, tahun 1990-an, dan beberapa awal 2000-an. Namun dimensi waktu pemunculan ini menjadi ”relatif” karena telah terikat dengan tali tematik abadi yakni agama dan upaya pengekspresiannya dalam kehidupan keberagamaan kita. Sehinga, tak perlu lagi gelisah dengan soal baru atau tidak, karena semua tulisan di dalam buku ini, tetap memberikan pantulan-pantulan refleksi yang senantiasa aktual dalam hidup kita saat ini dan juga mungkin besok.

Dalam buku ini, esai yang termuat sejumlah 35 esai. Yang jika kita menikmatinya, maka kita akan menemukan suatu kesadaran-kesadaran baru dalam cara pandang dan cara berifikir kita untuk pengekspresian kehidupan beragama. Beberapa tulisan dalam buku ini, dihadirkan tulisan-tulisan cak nun yang bernuansa esoteris, yang mencerminkan gejala batin manusia yang belum tentu mampu di eja dan dirumuskan dengan tepat oleh manusia modern, seperti ’Siti Jenar’, ’Lho, Mana Diriku?’, ’Garam Kok Asin’. Ada juga yang beraksentuasi dengan masalah sosial keumatan seperti ’Dosa Struktural dan Andai Sikaya Menunda Pesta.” dan masih banyak lagi yang dibahas Cak Nun didalam buku ini.

***
Kita membincangkan sedikit saja ya. Selebihnya, beli dan baca bukunya sendiri.
Tidak. Jibril tidak pensiun awalnya adalah esai cak nun yang dimuat dalam majalah Panji Masyarakat (21 Desember 1986). Dalam tulisan ini, cak nun berpendapat bahwa berakhirnya kitab wahyu pada diri nabi Muhammad Saw. Tidak berarti sesudah al-Quran diturunkan lantas berhenti taburan hidayah dan petunjuk dari Allah. Al-Quran itu sendiri adalah petunjuk dan justru dengan terus mempelajarinya semakin terbuka pintu-pintu hidayah bagi manusia. 
Esei ini berangkat dari senda gurau anak-anak (kita) bahwa jibril sejak abad VII masehi itu menjadi penganggur. Pensiun abadi. Karena Muhammad tilah wafat dan wahyu sudah sempurna. 

Benarkah demikian? Bukankah anggapan yang demikian ini mengindikasikan bahwa kita tidak kenal dengan jiwa wahyu. Yang menganggap wahyu hanya ”materi” semata, dan mungkin bagi kita jibril adalah serupa bayangan patung, arca berjubah, makhluk supra raksasa atau semacam lelembut? Dan itu semua tidak konkret. Kita sangat terjebak pada materialisme. 

Lebih jauh, cak nun menggugah kesadaran kita, bahwa kita orang modern, malah seolah-olah sengaja membuang kemampuan kejiwaan kita sendiri yang bisa kita pakai untuk bergaul dengan hidayah, dengan petunjuk ’entah dari mana’ dengan gudang rahasia keilahian, dengan ketidak-mungkin-tahu-annya sendiri.

Cahaya Allah tidak berhenti mamacar, ilmu Tuhan terus menerus berseliweran. Muhammad tidak mati. Sungguh tidak mati. Hanya tubuh beliau yang dikuburkan—dan tubuh beliau adalah bagian yang paling remeh dari eksistensi kepribadiannya yang menyuluhi alam semesta. Wahyu itu sudah sempurna, namun belum selesai, karena ia akan menemukan kelahiran dan kelahirannya kembali di dalam iman dan kesadaran umatnya. 

Bahwa pada Muhammad disebut wahyu itu berakhir, artinya ialah jatah ilmu pengetahuan dasar anugerah Allah bagi manusia berpuncak di wadah Muhammad. Segala yang kita kita sebut prestasi akal, ilmu dan teknologi dahsyat yang dicapai manusia sesudahnya, telah terdapat benih-benih di dalam al-Quran.

Jibril tidak pensiun. Ia begitu karib, di sisi tidur dan jaga kita. Namun apabila pengalaman keilahian tidak selalu kita perbaharui, pada suatu hari kita akan sadar seolah-olah kita ini hidup di masa pra-Ibrahim yang mengahyati bulan dan matahari untuk menemukan Allahnya.[]
***

Pada salah satu esai yang lain, cak nun membicarakan tentang ’Siti Jenar’. Dalam esai ini diuraikan bahwa ’subtansi Siti Jenar’ ada di dalam ’diri’ kita, namun kita tidak menyadarinya. 

Wali ’sempalan’ ini memandang dunia absurd adanya. Kejelasannya sangat tidak jelas dan ketidakjelasannya sangat jelas. Kematian bertebaran di dalam kehidupan. Dan kehidupan ada di dalam kematian. Kita bersenang-senang dalam pesta kematian yakni kehidupan dan kita mencemaskan kematian yakni kehidupan.
oleh karena itu, amat sedikit orang yang bersedia menempuh jalan sunyi. Amat sedikit orang bertanya. Tentang hakikat kehidupan dan kematian. Dan Siti jenar memilih jalan sunyi itu.
Ketika dipanggil menghadap sidang para wali, ia menjawab, ”Siti Jenar tidak ada. Hanya Tuhan yang ada.”

Siti Jenar bukan Tuhan. Sama sekali bukan Tuhan. Apa yang ia lakukan ”hanyalah” peniadaan diri. Kalimat itu tak mengindikasikan sedikitpun bahwa ia ”menuhankan diri”. Ia bahkan menyadari hakekat ketiadaannya. Sebab, memang hanya itulah satu satunya jalan bagi manusia. Manusia hanya seakan-akan ada, hanya diadakan, diselenggarakan. Sejatinya tak ada. Maka agar jalan tak palsu, agar sejati, ialah meniada, adalah bergabung kepada satu-satunya yang ada. Itulah Tauhid.

Firaun tidak pernah menyatakan bahwa ”Akulah Tuhan!” yang ia lakukan sehingga bermakna menuhankan diri ialah menomorsatukan selain Tuhan: ambisi kekuasaan, maniak harta benda, mengumbar nafsu, merancang segala sesuatu, dan mengekspolitasikan apa saja yang bisa dijangkau untuk kepentingan karier dan masa depan pribadi. 

Itulah obsesi populer kita sehari hari. Dan obsesi-obsesi populer itu adalah kepalsuan. Dan di dunia ia ternyata kita sering dan tak henti-hentinya mengejar kepalsuan itu. Mengejar yang tidak hakikat. Lalu secara tak sadar kita menuhankannya. 
***
Nah, berbicara tentang Tuhan, dalam buku ini, cak nun membahasnya dengan panjang lebar. Diantaranya adalah “Tuhan dan tuhan-tuhanan” serta “Mereka Mencari Rumus Tuhan I-VIII”
***
Esei yang pertama, “Tuhan dan tuhan-tuhanan”, membahas tentang Tuhan dan tuhan. Yang pertama dengan ’t’ besar dan yang kedua dengan ’t’ kecil. 
‘Tuhan’ adalah suatu otoritas, sutu hegemoni tunggal yang menentukan. Namun kita sering menganggapnya hanya sebagai elemen kecil saja. Akan tetapi dengan ’tuhan-tuhan’ kita begitu patuh. Siapa ’tuhan-tuhan’ itu? Bisa jadi nafsu kita sendiri, uang, iklan, kekuasaan dan lain sebagainya.
***

 

Sedangkan esai-esai ”Mereka Mencarai Rumus Tuhan” yang berjumlah delapan esai, mebicarakan tentang anak-anak muda yang atheis. Esei ini menuturkan tentang penjelasan-penjelasan tentang keatheisan mereka, dan ini bisa dilacak dengan analisa-analisa yang memperhatikan segi theologis, psikologis, dan faktor-faktor kesejahteraan tententu yang multi konteks. Sehingga kita bisa arif dan bijaksana menyikapi keatheisan mereka. 

Ada peta sendiri untuk membedakan antara tidak percaya kepada Tuhan dengan tak percaya dengan adanya Tuhan. 

Dan mohon maaf kawan-kawan, tema yang satu ini tidak bisa saya uraikan panjang lebar dan mendalam. Soale rodo’ dhowo! 
Namun saya ingin sedikit bercerita tentang cerita cak nun yang berkaitan dengan atheis atau “kafir” ini. 

Begini ceritanya:

Pada suatu malam salah satu yang hadir di “Kenduri Cinta” Jakarta ada seorang pemuda yang berpidato memperkenalkan kelompoknya yang dinamakan “Jaringan Kafir Liberal”. Ia berpidato brapi-api, mengkritisi berbagai kenyataan kaum muslimin serta kehidupan bangsa Indonesia pada umumnya yang penuh dengan kemunafikan. Iantinya ia melakukan penolakan-penolakan frontal terhadap brbagai trend nilai yang sedang berlangsung. Dalam bahasa islam, ia melakukan “kekufuran” atau sikap kafir terhadap banyak hal, termasuk pandangan ketuhanan dan theology yang populer.
Cukup segar dan lucu cara berbicaranya, tetapi membuat merah telinga banyak hadirin yang tidak siap terhadap kekafiran pembicara. Sejumlah orang islam yang tidak tahan hati mendengan kata “kafir”, dan salah tingkah menghadapi orang yang menamakan dirinya “kafir”, apalagi membuat semacam organisasi yang terang terangan memakai idiom “kafir” sebagai identitasnya. 

Hampir terjadi ketegangan di antara para hadirin, sorot mata sejumlah pemuda menjadi sangat tajam dan mengandung ancaman – sampai akhirnya cak nun terpaksa maju untuk memuji dan menjunjung-junjung penampilan dari Jaringan Kafir Liberal ini.

“Saudara-saudaraku yang lembut hati, seluruh yang ia kemukakan tadi bisa anda temukan di dalam wilayah penghayatan La Ilaha, yaitu bagian awal dari syahadat muslim yang bermakna Tidak ada Tuhan. Sebelum seorang muslim memiliki keberania untuk mengucapkan Illallah (hanya Allah), maka terlebih dulu ia harus mengenali persis La Ilaha. Yang bukan Tuhan mana saja. Yang tidak dinomersatukan mana saja. Kalau anda sudah menemukan dan meyakini bahwa dalam kehidupan ini tak ada yang pantas dituhankan, baik itu Raja, Presiden, Ulama, atau tokoh-tokoh apapun, termasuk uang, harta benda dan kekuasaan maka anda menemukan kehidupan ini sunyi. Semuanya lemah sebagai mana anda. Batu, pepohonan, segala makhluk, termasuk kita, semuanya lemah, lemah, sehingga tidak memiliki kepantasan untuk dituhankan. Tidak memiliki kelayakan untuk di junjung tinggi, untuk diibela sampai mati. Dengan itu anda menemukan Illallah, hanya Allah, yang memiliki kedudukan, kekuatan, dan fungsi semacam itu. Jadi, saudara-saudaraku, jaringan kafir liberal adalah tahap awal dari Islam yang Sejati...” ujar cak Nun.

InsyaAllah berdasarkan keterbatasan persepsi ilmu pengetahuan saya, kita semua ini masih terpuruk pada keadaan yang sangat parah diukur dari hakikat La Ilaha Illallah.

Di dalam mengerjakan kehidupan, di dalam berekonomi, berkebudayaan, berpolitik, dan di dalam menjalankan peradaban kemanusiaan sampai abad milenium ini: kita masih sangat jauh dari kenyataan ’Illallah’ kita masih belum menemukan kenomor-satuan Allah dalam perilaku kehidupan-kehidupan kita sebagai individu, apalagi sebagai warganegara dan terlebih lagi sebagai anggota peradaban globalisasi. 
Mungkin di beberapa hal kita sudah mengaktualisasikan keutamaan Allah, namun pada kebanyakan hal kita masih belum memiliki kesanggupan, ilmu dan keberanian untuk menyelenggarakan ’ La Ilaha ’ di dalam praktek hidup kita. 
Belum becus ber- La Ilaha, kita sudah sibuk, mantap, GR dan Sombong seakan-akan sudah memasuki tahap Illallah yang sungguh-sungguh.
Sesungguhnya, saya berhusnudzan, yang dilawan oleh teman-teman jaringan kafir liberal bukanlah Allah SWT—melainkan suatu parodi, ironi dan sarkasme perlawanan terhadap perilaku kehidupan beragama kita yang penuh dengan kemunafikan. Terutama memunafikkan konteks antara La Ilaha dengan Illallah.

Semoga kita senantiasa mendapat hidayah Allah. Wallahua’lam bis showab.  


  ________________________________________[ahmad shobirin]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar